Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus
tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang
sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik - rintik
selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor, terdengar suara
tek...tekk..tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka
keringat, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok
bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu..", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. Ada satu hal yang
menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang
bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang
satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu
aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan ?
Barangkali ada
tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang
bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja,
Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang
menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-
cita penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ..?", saya melanjutkan bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan
sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup
sehari - hari Emang dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk
melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi
tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun
kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama
yang
Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu,
untuk melaksanakan Ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang
besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di
setiap penghasilan harian
hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan
sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar
2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu.
Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita
yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso
tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup
seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum
ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang
bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu,
termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal
mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau
pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI. Definisi "mampu" adalah sebuah
definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri.
Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka
mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya
kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan
segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada
kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso".